Pages

Sabtu, 25 September 2010

Kenangan :Akan Kulepas Pakaianmu

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 21.29 0 komentar

-tentang masa lalu kekasihku


mungkin perempuan itu belum lupa

setahun yang lalu kau menjemputnya

mengantarnya dengan kasih sayang

menantikan sebuah kejutan

ungkapan sayang dengan marah


suatu hari yang kelabu

kata-kata binal dari mulutnya

membuat kau melepaskan baju

langsung di tempatmu

tak pedul jarak, waktu tempuh dan kecepatan

kau tetap menutup hari dengan biru

menangis dan bukanlah terharu


selepas tangisanmu

mentari kehilangan cahayanya

mendung, petir, hujan menarinari

merayakan dingin dan gelap

kau tenggelam dalam gigil

dan perempuan terbenam dalam kemarahan

jarinya tak berhenti menulis dengan darah


kau pasti akan mencatat sejarah penting ini

dalam laci otak yang kau kunci tiga kali

dan kau akan menyimpan kenangan ini

meski saat kau rapuh, tapi waktu selalu berbisik

"suatu saat kau akan melepas pakaianmu, dan kita sama telanjang"



Tengah Malam, 21 September 2010

Senin, 23 Agustus 2010

Setelah Mati

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 08.45 0 komentar
tolong,
biarkan aku menangis, menjerit

tolong,
biarkan aku menarik, menghela

tapi tolong,
jangan biarkan aku bernafas, kembali setelah mati.


Holis, 23 Agustus 2010

Catatan Perjalanan

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 06.51 0 komentar

"Tidur cantik". Tengah malam kuterima pesan darimu. Sesuai perkiraan, kau selalu tahu aku masih belum terlelap. Ini yang aku suka dari malam. Segelas coklat dingin, tugas, layar komputer dan pesan teks darimu. Lengkap sudah. Aku merasa sedang mencicipi bagian dari surga. Mungkin saat itu jiwaku sedang menari mengikuti irama musik klasik. Satu jarum pendek jam di dinding ruang keluarga hampir menunjuk angka satu, sedang jarum yang lain berada di angka sebelas. Pukul satu kurang lima menit, nampaknya kau sudah tertidur. Ponselpun sudah tak lagi berkicau. Ya, kau pasti tengah terlelap. Dan aku masih ingin terjaga, membiarkan bintang, bulan dan semesta meniupkan mimpi dan kehidupan yang indah dalam tidurmu. Terus saja kukerjakan tugas dengan rasa khawatir bahwa aku akan melewatkan waktu subuh kemudian terlambat ke kampus. Kalau sudah begitu, untuk apa aku semalaman mengerjakan tugas? Kuputuskan mengirimi satu pesan teks padamu, meminta untuk membangunkanku pagi-pagi. Tiga per-empat malam tugas selesai dan aku dapat tertidur, akhirnya.


Pagi-pagi telepon darimu berdering. Tunggu sebentar, kuangkat panggilan dengan mata masih terpejam, setelah itu kembali terlelap. Sepertinya gerimis baru saja reda. Redup matahari membuat mata tak kunjung membuka. Ibu berteriak, membangunkanku. Pukul berapa ini? Pelan-pelan kupaksakan mata melihat jam berbentuk tokoh kartun kesayanganku di sisi ranjang. Ah sial, pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan aku sudah berada di kampus, duduk pait mempersiapkan sebuah presentasi di hadapan teman-teman. Itu artinya aku akan terlambat sampai kampus dan usaha mengerjakan tugas malam tadi terancam tidak mempunyai arti. Bergegaslah aku mandi, aku berbenah. Terburu-buru pergi ke luar rumah. Benar saja gerimis baru reda, embun-embun berserakan di pekarangan. Dingin pagi semakin membuatku kehilangan rasa optimis akan sampai kampus pada waktu yang tepat. Dengan mengucap basmallah aku berangkat kemudian tiba lima belas menit lewat dari pukul sembilan. Untung saja dosen belum datang. Seperti biasa kata basmallah selalu diakhiri dengan hamdallah.


Kira-kira pukul sebelas kelas presentasi selesai. Ah, tak sabar aku bertemu denganmu. Rindunya... Ya, hari ini memang aku ingin ditemani olehmu walau sebentar hanya setetes waktu, tak apa. Melihatmu dari kejauhan saja -seperti biasa, sebenarnya rasa rinduku bisa hilang. Tapi aku ingin menghilangkan rasa rindu kemudian memunculkannya kembali, jadi kuputuskan untuk bertemu, bersamamu. Keluar kelas, lagi-lagi kukirim sebuah teks dalam pesan. Aku sudah selesai dengan urusanku dan siap bertemu. Kupastikan kau mencerna, memahami, kemudian mengembalikan katakata kepadaku. Ternyata kau belum selesai dengan urusanmu. Aku menunggumu di ruang waktu puisi, tak pernah tahu batas dan tak mengenal waktu. Angin memang sangat kencang saat itu, tapi tidak juga dapat menerbangkan segala penantian yang ada di otak. Angin begitu lembut membelai tubuh sambil menemani.


Hampir pukul satu siang kulihat dari petunjuk waktu ponselku. Kau datang berwajah malu-malu, senyum berkali-kali. Terlihat ada kebahagiaan disana, hatimu. Tapi kubiarkan saja duduk terlebih dahulu, terdiam. Mungkin masih ingin meneruskan menikmati letupan kebahagiaan yang belum meledak. Tak lama bibir yang anggur itu berkisah tentang cerita bahagia, sebuah awal dari salah satu mimpi utama. Aku memang bukan perenang ulung, tapi nampaknya kali ini aku berhasil menyelam di bahagiamu. Kau dan aku berjalan beriringan menuju kantin sambil menyisipkan kenangan sepanjang jalan. Di kantin, kembali aku mendengarkan segala cerita bahagia, rintih dan gurauan. Dan aku mengirimkan napas untukmu. Kau akan tetap bernapas, terjaga dengan hasrat tanpa waktu yang membeku.


Pukul dua lebih tiga puluh menit. Ibu mengirim pesan, aku harus cepat pulang. Istri dari adik Ibuku meminta aku untuk menemani sisa hari itu. Ah! Waktu kita telah habis. Sebenarnya aku masih ingin berada disana, bersamamu, di dekatmu, menemani, tak mau pergi seperti malam yang datang kemudian pergi setiap hari. Aku pamit, memberi kucupan di tanganmu kemudian berjalan, masuk mobil, dan berlalu hingga hilang gema di telingamu. Kususuri lorong jalan yang terasa jauh. Seperti langkahmu, menjauh. Ternyata benar, rinduku hilang tadi, tapi kau langsung menanam kembali rindu di akar hatiku. Melebur dengan darah tubuh, mengalir ke setiap organ. Aku sadar, begitu kupulang, ada yang hilang.



Kamar, 2010

Sadar

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 06.51 0 komentar
dari sini aku melihat
ternyata
hujan
semakin
lebat


Holis, 2010

Aku Hari Ini

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 06.50 0 komentar
bisakah kau katakan padanya
bahwa
aku takkan pernah kau ambil

buat ia membuang semua rasa kalut
dan ketakutan pada kehilangan

katakan pula padanya
jika
kau memang begitu ingin aku menjadi teman

katakan

jika kau tak bisa mengatakannya
katakan saja yang sejujurnya
tentang kau dan aku
tentang yang kau perjuangkan sebentar ini.


2010

Akhir Kesabaran Sang Suami

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 06.49 0 komentar
:masih tentang malam, tentang kelam, tentang yang terbenam


"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"

Suamiku tersenyum. Membukakan pintu kemudian
merangkulku. Aku segera meletakkan tas, pergi
ke kamar. Beriringan.

Aku mulai melepaskan pakaianku, pakaian dalamku.
Suamiku tersenyum. Dipeluknya aku dengan hangat,
seperti akar merekatkan diri kepada tanah.

"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"

Suamiku masih menumpuk kata di bawah bantal,
sementara aku membentuk awan di kasur, berantakan.
Suamiku tersenyum. Memakaikan pakaianku kembali, kemudian pergi.


27 Juli 2010

Sesuai Rencana

Diposting oleh Tirena Oktaviani di 06.47 0 komentar
-mengenang percakapan banyak mata

Aku sudah memakai pakaian pengantin, Pah. Baru ada satu set kursi tamu yang katanya untuk alas ketika aku lelah saat pernikahan nanti. Kita harus melakukan sesuatu. Bertanya dimana banyak set untuk makan, duduk, juga seperangkat alat musik. Lalu kemana 500 tamu yang kau undang? Seperti biasa, terus saja kau lantunkan ayat omong kosong. Dan terus saja kau bisikkan ketenangan dari bathinmu, berulang-ulang. Sudahlah. Biar aku bergerak sendiri. Dari kanan kemudian kiri kemudian kembali kanan, terus saja aku menengok bolak-balik, gelisah, lenggak-lenggok. Kupastikan semua rapih, mahar telah tersedia, duduk manis di kamar pengantin. Seperangkat alat untuk sembahyang -aku lupa apa namanya, mukena? atau salibkah? atau mungkin dupa? juga tentu sudah berjejer rapih dibelakang mahar. Aku tahu aku pasti akan menangis hari ini, ketika ijab dan qabul menjadi tontonan. Ternyata capek ya menjadi pengantin, padahal baru calon. Duduklah aku kemudian. Menyandarkan kepala ke tepi kursi. Kulihat sekitar, mengapa mereka melihatku seperti itu? Aneh. Aih, aku baru ingat, ternyata aku hanya pengantin tunggal. Akhirnya kunikmati hari ini dengan air mata, sesuai rencana.



Bandung 2010

Kenangan :Akan Kulepas Pakaianmu

-tentang masa lalu kekasihku


mungkin perempuan itu belum lupa

setahun yang lalu kau menjemputnya

mengantarnya dengan kasih sayang

menantikan sebuah kejutan

ungkapan sayang dengan marah


suatu hari yang kelabu

kata-kata binal dari mulutnya

membuat kau melepaskan baju

langsung di tempatmu

tak pedul jarak, waktu tempuh dan kecepatan

kau tetap menutup hari dengan biru

menangis dan bukanlah terharu


selepas tangisanmu

mentari kehilangan cahayanya

mendung, petir, hujan menarinari

merayakan dingin dan gelap

kau tenggelam dalam gigil

dan perempuan terbenam dalam kemarahan

jarinya tak berhenti menulis dengan darah


kau pasti akan mencatat sejarah penting ini

dalam laci otak yang kau kunci tiga kali

dan kau akan menyimpan kenangan ini

meski saat kau rapuh, tapi waktu selalu berbisik

"suatu saat kau akan melepas pakaianmu, dan kita sama telanjang"



Tengah Malam, 21 September 2010

Setelah Mati

tolong,
biarkan aku menangis, menjerit

tolong,
biarkan aku menarik, menghela

tapi tolong,
jangan biarkan aku bernafas, kembali setelah mati.


Holis, 23 Agustus 2010

Catatan Perjalanan

06.51 by Tirena Oktaviani 0 komentar

"Tidur cantik". Tengah malam kuterima pesan darimu. Sesuai perkiraan, kau selalu tahu aku masih belum terlelap. Ini yang aku suka dari malam. Segelas coklat dingin, tugas, layar komputer dan pesan teks darimu. Lengkap sudah. Aku merasa sedang mencicipi bagian dari surga. Mungkin saat itu jiwaku sedang menari mengikuti irama musik klasik. Satu jarum pendek jam di dinding ruang keluarga hampir menunjuk angka satu, sedang jarum yang lain berada di angka sebelas. Pukul satu kurang lima menit, nampaknya kau sudah tertidur. Ponselpun sudah tak lagi berkicau. Ya, kau pasti tengah terlelap. Dan aku masih ingin terjaga, membiarkan bintang, bulan dan semesta meniupkan mimpi dan kehidupan yang indah dalam tidurmu. Terus saja kukerjakan tugas dengan rasa khawatir bahwa aku akan melewatkan waktu subuh kemudian terlambat ke kampus. Kalau sudah begitu, untuk apa aku semalaman mengerjakan tugas? Kuputuskan mengirimi satu pesan teks padamu, meminta untuk membangunkanku pagi-pagi. Tiga per-empat malam tugas selesai dan aku dapat tertidur, akhirnya.


Pagi-pagi telepon darimu berdering. Tunggu sebentar, kuangkat panggilan dengan mata masih terpejam, setelah itu kembali terlelap. Sepertinya gerimis baru saja reda. Redup matahari membuat mata tak kunjung membuka. Ibu berteriak, membangunkanku. Pukul berapa ini? Pelan-pelan kupaksakan mata melihat jam berbentuk tokoh kartun kesayanganku di sisi ranjang. Ah sial, pukul delapan. Seharusnya pukul sembilan aku sudah berada di kampus, duduk pait mempersiapkan sebuah presentasi di hadapan teman-teman. Itu artinya aku akan terlambat sampai kampus dan usaha mengerjakan tugas malam tadi terancam tidak mempunyai arti. Bergegaslah aku mandi, aku berbenah. Terburu-buru pergi ke luar rumah. Benar saja gerimis baru reda, embun-embun berserakan di pekarangan. Dingin pagi semakin membuatku kehilangan rasa optimis akan sampai kampus pada waktu yang tepat. Dengan mengucap basmallah aku berangkat kemudian tiba lima belas menit lewat dari pukul sembilan. Untung saja dosen belum datang. Seperti biasa kata basmallah selalu diakhiri dengan hamdallah.


Kira-kira pukul sebelas kelas presentasi selesai. Ah, tak sabar aku bertemu denganmu. Rindunya... Ya, hari ini memang aku ingin ditemani olehmu walau sebentar hanya setetes waktu, tak apa. Melihatmu dari kejauhan saja -seperti biasa, sebenarnya rasa rinduku bisa hilang. Tapi aku ingin menghilangkan rasa rindu kemudian memunculkannya kembali, jadi kuputuskan untuk bertemu, bersamamu. Keluar kelas, lagi-lagi kukirim sebuah teks dalam pesan. Aku sudah selesai dengan urusanku dan siap bertemu. Kupastikan kau mencerna, memahami, kemudian mengembalikan katakata kepadaku. Ternyata kau belum selesai dengan urusanmu. Aku menunggumu di ruang waktu puisi, tak pernah tahu batas dan tak mengenal waktu. Angin memang sangat kencang saat itu, tapi tidak juga dapat menerbangkan segala penantian yang ada di otak. Angin begitu lembut membelai tubuh sambil menemani.


Hampir pukul satu siang kulihat dari petunjuk waktu ponselku. Kau datang berwajah malu-malu, senyum berkali-kali. Terlihat ada kebahagiaan disana, hatimu. Tapi kubiarkan saja duduk terlebih dahulu, terdiam. Mungkin masih ingin meneruskan menikmati letupan kebahagiaan yang belum meledak. Tak lama bibir yang anggur itu berkisah tentang cerita bahagia, sebuah awal dari salah satu mimpi utama. Aku memang bukan perenang ulung, tapi nampaknya kali ini aku berhasil menyelam di bahagiamu. Kau dan aku berjalan beriringan menuju kantin sambil menyisipkan kenangan sepanjang jalan. Di kantin, kembali aku mendengarkan segala cerita bahagia, rintih dan gurauan. Dan aku mengirimkan napas untukmu. Kau akan tetap bernapas, terjaga dengan hasrat tanpa waktu yang membeku.


Pukul dua lebih tiga puluh menit. Ibu mengirim pesan, aku harus cepat pulang. Istri dari adik Ibuku meminta aku untuk menemani sisa hari itu. Ah! Waktu kita telah habis. Sebenarnya aku masih ingin berada disana, bersamamu, di dekatmu, menemani, tak mau pergi seperti malam yang datang kemudian pergi setiap hari. Aku pamit, memberi kucupan di tanganmu kemudian berjalan, masuk mobil, dan berlalu hingga hilang gema di telingamu. Kususuri lorong jalan yang terasa jauh. Seperti langkahmu, menjauh. Ternyata benar, rinduku hilang tadi, tapi kau langsung menanam kembali rindu di akar hatiku. Melebur dengan darah tubuh, mengalir ke setiap organ. Aku sadar, begitu kupulang, ada yang hilang.



Kamar, 2010

Sadar

06.51 by Tirena Oktaviani 0 komentar
dari sini aku melihat
ternyata
hujan
semakin
lebat


Holis, 2010

Aku Hari Ini

06.50 by Tirena Oktaviani 0 komentar
bisakah kau katakan padanya
bahwa
aku takkan pernah kau ambil

buat ia membuang semua rasa kalut
dan ketakutan pada kehilangan

katakan pula padanya
jika
kau memang begitu ingin aku menjadi teman

katakan

jika kau tak bisa mengatakannya
katakan saja yang sejujurnya
tentang kau dan aku
tentang yang kau perjuangkan sebentar ini.


2010

Akhir Kesabaran Sang Suami

06.49 by Tirena Oktaviani 0 komentar
:masih tentang malam, tentang kelam, tentang yang terbenam


"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"

Suamiku tersenyum. Membukakan pintu kemudian
merangkulku. Aku segera meletakkan tas, pergi
ke kamar. Beriringan.

Aku mulai melepaskan pakaianku, pakaian dalamku.
Suamiku tersenyum. Dipeluknya aku dengan hangat,
seperti akar merekatkan diri kepada tanah.

"Tak apa, kau tak ada di siang ini,"

Suamiku masih menumpuk kata di bawah bantal,
sementara aku membentuk awan di kasur, berantakan.
Suamiku tersenyum. Memakaikan pakaianku kembali, kemudian pergi.


27 Juli 2010

Sesuai Rencana

06.47 by Tirena Oktaviani 0 komentar
-mengenang percakapan banyak mata

Aku sudah memakai pakaian pengantin, Pah. Baru ada satu set kursi tamu yang katanya untuk alas ketika aku lelah saat pernikahan nanti. Kita harus melakukan sesuatu. Bertanya dimana banyak set untuk makan, duduk, juga seperangkat alat musik. Lalu kemana 500 tamu yang kau undang? Seperti biasa, terus saja kau lantunkan ayat omong kosong. Dan terus saja kau bisikkan ketenangan dari bathinmu, berulang-ulang. Sudahlah. Biar aku bergerak sendiri. Dari kanan kemudian kiri kemudian kembali kanan, terus saja aku menengok bolak-balik, gelisah, lenggak-lenggok. Kupastikan semua rapih, mahar telah tersedia, duduk manis di kamar pengantin. Seperangkat alat untuk sembahyang -aku lupa apa namanya, mukena? atau salibkah? atau mungkin dupa? juga tentu sudah berjejer rapih dibelakang mahar. Aku tahu aku pasti akan menangis hari ini, ketika ijab dan qabul menjadi tontonan. Ternyata capek ya menjadi pengantin, padahal baru calon. Duduklah aku kemudian. Menyandarkan kepala ke tepi kursi. Kulihat sekitar, mengapa mereka melihatku seperti itu? Aneh. Aih, aku baru ingat, ternyata aku hanya pengantin tunggal. Akhirnya kunikmati hari ini dengan air mata, sesuai rencana.



Bandung 2010

 

catatan kecil liku lika Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal